Minggu, 09 Februari 2014

UTS Siwa Sidhanta



Soal:
1. Jelaskan tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali!
2. Jelaskan kenapa kristalisasi semua sekte di Bali mengatasnamakan Siva Siddhanta!
3. Jelaskan konsep kristalisasi yang dibuat oleh mpu kuturan!
4. Jelaskan konsep penyatuan Siva Siddhanta atau sekte-sekte dalam merajan!
5. Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, teroris, korupsi dalam konsepsi Siva Siddhanta!
Jawaban :
1. tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari india sampai ke Bali:
1) Danghyang Markandeya.
            Pada abad ke-8 beliaau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan pelinggih di tolaangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang-Gianyar, beliau mementpkan ajaran siva siddhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: sewa sewana, Bebali (banten), dan pencaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau Bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Dan  daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali, jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk diseluruh pulau melaksanakan ajaran siva siddhanta menurut prtunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan Bebali atau banten. Dan beliau juga membngun pura sad \Kahyangan lainnya yaitu, batur, sukawan, Batukaru,  Andakasa, dan Lempuyang.
            Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari tumpek kandang untuk memohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakn darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari SangHyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2) Mpu Sangkulputih.
            Setelah Danghyang Markandeya Moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual Bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unssur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih,daun pisang, daun janur, dan  buah-buahan. Dan bentuk banten yang diciptakan yaitu canang tubugan, canang raka, daksina, peras, penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe dll. Disamping itu beliau mendidik para pengikutnyaa menjadi sulinggih dan mempelopori pembuatan arca, pralingga, dan patung-patung dewa lainnya sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Dan beliau juga mengenalkan tata cara pelaksanaan peringatan hari piodalan di Pura Besakih dan  pura-pura lainnya, jabatan beliau resmi adalah sulinggih yang bertanggung jawab di pura besakih dan pura-pura lain yang didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3) Mpu Kuturan
            Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi Wasa beliau  mempunyi pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol pelinggih kemulan Rong tiga di tiap perumahan, pura kahyangan tiga di tiap Desa Adat dan pembangunan pura-pura Kiduling  Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu)  dan gelap (siwa), serta padma Tiga, dibesakih. Paham trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pengider-ider).
            Seperti disebutkan oleh R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagaman yang bersifat sekretarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, siwa siddhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Ciwa Siddhanta merupakan  sekte dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte  memuja Dewa-dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan nyasa (simbol) tertentu serta lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
            Inilah yang merupakan salah satu faktor pennyebab terjadinya gangguan keamanaan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negatif ini bukan saja menimpa desa bersanngkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur. Oleh karena itu raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepakatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu
a. Mpu Semeru
            dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat kliwon, wuku pujut, bertepatan dengan hari purnamaning  kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu  berparhyangan di besakih.
b. Mpu Ghana
            penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari senin kliwon, wuku kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gel-gel.
c.  Mpu Gnijaya
            pemeluk Brahmanisme tiba di bali pada hari kamis, wuku dungulan bertepatan sasih kedasa, pati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala muka dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukitm bisbis (lempuyang).
4)Mpu Manik Angkeran
            Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan utnutk  melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang  menghubungkan  Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5) Mpu Jiwaya
            Beliau menyebarkan Agama Budh Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalm bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6) Danghyang Dwijendra
            Datang di Bali pada abad ke-14 dari desa keling dijawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana siwa, ketika kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.dan mengembangkan paham tri purusha yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai siwa, sadha siwa, dan parama siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
2.  Kristalisasi semua sekte di Bali yang mengatasnamakan Siva Siddhanta, karena siva siddhanta dalam semua sekte-sekte atau korban suci yang terdapat di Bali tercangkup dalam siva siddhanta, seperti halnya dalam sekte bhairawa Dalam upacara yajna, sekte Bhairawa termasuk kedalam Bhuta yajna. Yang terdapat banten caru atau tabuh rah. Dan sekte Brahmana, dalam korban suci di Bali yaitu Api merupakan sarana utama dalam upacara. Seperti : api takep, dupa, dipa, dan yang lainnya, dalam sekte sora, yaitu dalam kristalisasinya adalh terdapatya sanggah surya dalam setiap merajan atau pura, begitu pula dalam sekte -sekte siva siddhanta lainnya yang pemujaannya sama dengan upacara keagamaan yang ada di Bali.

3. Konsep kristalisasi yang dibuat oleh mpu kuturan yaitu mengembangkan konsep Trimurti  (Brahma, Wisnu Siwa) dalam wujud simbol palinggih kemulan Rong tiga di tiap perumahan, pura kahyangan Tiga di tiap Desa Adat. Dan pada rapat majelis tersebut Mpu kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti ( Brahma, wisnu, siwa ) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau menifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Kosensus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus  mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
a. Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagaii perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (tuhan)
b. Pura Puseh untuk memuja kemuliaan wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
c. Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
          Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam samuan tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa  Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”. Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan Bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang di beri nama Pura Samuan Tiga.
          Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol pelinggih Kemulan Rong tiga di tiap  perumahan, pura kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan pembangunan pura-pura Kiduling kreteg (Brahma), Batumadeg (wisnu), dan Gelap (siwa), serta Padma Tiga, i Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider). (gunawan pasek, 2012: 52-53)

4. Penyatuan konsep siva siddhanta atau sekte-sekte dalam merajan, adalah :
1. Piasan : fungsinya untuk menghanturkan canang pendek, canang sari ( sesajen) pada ida hyang bhatara sami, dalam krisatalisasi pada siva sidhanta yaitu tercangkup p
2. kemulan Rong 3 : fungsinya untuk memuja hyang guru atau Tri Murti (Brahma,wisnu siwa), dalam siva siddhanta ini konsep ini djalankan oleh Mpu kuturan dan terdapat dalam sekte
3. surya : sanggah surya fungsinya untuk memuja bhtara surya, dalam siva siddhanta tercangkup dalam sekte sora yaitu menyembah bhatara surya.
4. paibon : fungsinya untuk memuja roh-roh lehur
5. taksu : fungsi taksu adalah sebagai pengempon dalam merajan atau pengenter apa yang kita sajikan kepada leluhur kita. Dan bersifat magis serta digunakan sebagai penolak bala, Serta memiliki unsur kewibawaan

5. Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, teroris, korupsi dalam konsepsi Siva Siddhanta!
Dalam konsepsi siva siddhanta fenomena menyontek, teroris dan korupsi ini sangat bertentangan dengan ajaran siwa siddhanta, kejadian ini dikaitkan dalam konsepsi siva siddhanta dalam cetana dan acetana, dimana cetana adalah unsur kesadaran atau kejiwaan atau spiritualitas yang muthlak, tidak berawal dan tidak berakhir kekal abdi sertta menjadi sumber atau benih kesadaran atau kejiwaan yang tertinggi dari alam semesta dan segala makhluk. Sedangkan Acetana adalah unsur yang tanpa kesadaran atau tanpa jiwa serta menjadi benih atau sumber asal mula material dari pada alam semesta dengan segala isinya dan segala makhluk. Jika dikaitkan dalam fenomena menyontek bahwa manusia dalam kesadarannya sangat kurang karena manusia itu tidak pernah sadar pada dampak melakukan hal menyontek tersebut,bahwa dengan  menyontek seseorang akan terus bergantung pada orang lain, dengan mengandalkan jawaban sendiri seseorang itu akan mengetahui batas kepandaian yang kita miliki, dan apabila kita mengetahui bahwa kita sangat kurang dalam mnjawab soal itu, maka dari sanalah kita bisa sadar bahwa perlu belajar lebih giat lagi, begitu juga dengan fenomena teroris yang terjadi di bumi pertiwi ini, bahwa seorang teroris itu kurang menyadari akan jati dirinya sendiri, dia belum mampu melawan asutan-asutan dari orang yang mengajaknya berbuat seperti itu dan begitu pula dengan seorang koruptor, seorang koruptor tidak akan pernah sadar pada dirinya sendiri jika ia mendapatkan kesempatan untuk berbuat seperti itu. karena semua terjadi atas dasar kesadaran diri kita sendiri, jika kita sadar pada jiwa kita, maka perbuatan-perbuatan seperti itu tidak akan pernah terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar