Soal:
1.
Jelaskan tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari India sampai ke Bali!
2.
Jelaskan kenapa kristalisasi semua sekte di Bali mengatasnamakan Siva Siddhanta!
3.
Jelaskan konsep kristalisasi yang dibuat oleh mpu kuturan!
4.
Jelaskan konsep penyatuan Siva
Siddhanta atau sekte-sekte dalam merajan!
5.
Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, teroris,
korupsi dalam konsepsi Siva Siddhanta!
Jawaban :
1.
tokoh-tokoh penyebar Siva Siddhanta dari india sampai ke Bali:
1)
Danghyang Markandeya.
Pada abad ke-8 beliaau mendapat
wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan pelinggih
di tolaangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari
unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi dan permata mirah. Setelah menetap di
Taro, Tegal lalang-Gianyar, beliau mementpkan ajaran siva siddhanta kepada para
pengikutnya dalam bentuk ritual: sewa sewana, Bebali (banten), dan pencaruan.
Karena semua ritual menggunakan banten atau Bebali maka ketika itu agama ini dinamakan
Agama Bali. Dan daerah tempat tinggal
beliau dinamakan Bali, jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah taro saja,
namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk diseluruh pulau
melaksanakan ajaran siva siddhanta menurut prtunjuk-petunjuk Danghyang
Markandeya yang menggunakan Bebali atau banten. Dan beliau juga membngun pura
sad \Kahyangan lainnya yaitu, batur, sukawan, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.
Beliau juga mendapat wahyu ketika
Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar
matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai
simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di
pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan
hari tumpek kandang untuk memohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare
Angon yang menciptakn darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang
Widhi, digelari SangHyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
2)
Mpu Sangkulputih.
Setelah Danghyang Markandeya Moksah,
Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual Bebali antara lain dengan
membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan
menambahkan unssur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih,daun pisang,
daun janur, dan buah-buahan. Dan bentuk
banten yang diciptakan yaitu canang tubugan, canang raka, daksina, peras,
penyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala,
pungu-pungu, beakala, ulap ngambe dll. Disamping itu beliau mendidik para
pengikutnyaa menjadi sulinggih dan mempelopori pembuatan arca, pralingga, dan
patung-patung dewa lainnya sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.
Dan beliau juga mengenalkan tata cara pelaksanaan peringatan hari piodalan di
Pura Besakih dan pura-pura lainnya,
jabatan beliau resmi adalah sulinggih yang bertanggung jawab di pura besakih
dan pura-pura lain yang didirikan oleh Danghyang Markandeya.
3)
Mpu Kuturan
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali
seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan
Agama Hindu di Bali. Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagai macam
aliran atau sekte yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi Wasa
beliau mempunyi pemikiran-pemikiran
cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud
simbol pelinggih kemulan Rong tiga di tiap perumahan, pura kahyangan tiga di
tiap Desa Adat dan pembangunan pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu) dan gelap (siwa), serta padma Tiga, dibesakih.
Paham trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pengider-ider).
Seperti disebutkan oleh R. Goris
pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagaman yang bersifat
sekretarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali kuna
antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, siwa siddhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma,
Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Ciwa Siddhanta
merupakan sekte dominan (Ardhana
1989:56). Masing-masing sekte memuja
Dewa-dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan
nyasa (simbol) tertentu serta lainnya dianggap lebih rendah.
Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte
dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa
didalam tubuh masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu
faktor pennyebab terjadinya gangguan keamanaan dan ketertiban di masyarakat
yang membawa dampak negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Akibat yang bersifat negatif ini bukan saja menimpa desa bersanngkutan, tetapi
meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga pemerintahan menjadi kurang
lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya
Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur.
Oleh karena itu raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepakatan
untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu
a.
Mpu Semeru
dari sekte Ciwa tiba di Bali pada
hari jumat kliwon, wuku pujut, bertepatan dengan hari purnamaning kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka
yaitu tahun caka 921 (999M) lalu
berparhyangan di besakih.
b.
Mpu Ghana
penganut aliran Gnanapatya tiba di
Bali pada hari senin kliwon, wuku kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M),
lalu berparhyangan di Gel-gel.
c.
Mpu Gnijaya
pemeluk Brahmanisme tiba di bali pada
hari kamis, wuku dungulan bertepatan sasih kedasa, pati padha cukla (tanggal 1),
candra sengkala muka dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan
di bukitm bisbis (lempuyang).
4)Mpu
Manik Angkeran
Setelah Mpu Sangkulputih moksah,
tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari
Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak
kembali ke Jawa dan utnutk melindungi
Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan
Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang
Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
5)
Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budh
Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti
Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalm bentuk
kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan
pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
6)
Danghyang Dwijendra
Datang di Bali pada abad ke-14 dari
desa keling dijawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih
menjadi Brahmana siwa, ketika kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem
Waturenggong.dan mengembangkan paham tri purusha yakni pemujaan Hyang Widhi
dalam manifestasinya sebagai siwa, sadha siwa, dan parama siwa. Bentuk bangunan
pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
2. Kristalisasi semua sekte di Bali yang
mengatasnamakan Siva Siddhanta, karena siva siddhanta dalam semua sekte-sekte
atau korban suci yang terdapat di Bali tercangkup dalam siva siddhanta, seperti
halnya dalam sekte bhairawa Dalam upacara yajna, sekte Bhairawa termasuk
kedalam Bhuta yajna. Yang terdapat banten caru atau tabuh rah. Dan sekte
Brahmana, dalam korban suci di Bali yaitu Api merupakan sarana utama dalam
upacara. Seperti : api takep, dupa, dipa, dan yang lainnya, dalam sekte sora,
yaitu dalam kristalisasinya adalh terdapatya sanggah surya dalam setiap merajan
atau pura, begitu pula dalam sekte -sekte siva siddhanta lainnya yang
pemujaannya sama dengan upacara keagamaan yang ada di Bali.
3. Konsep kristalisasi
yang dibuat oleh mpu kuturan yaitu mengembangkan konsep Trimurti (Brahma, Wisnu Siwa) dalam wujud simbol palinggih
kemulan Rong tiga di tiap perumahan, pura kahyangan Tiga di tiap Desa Adat. Dan
pada rapat majelis tersebut Mpu kuturan membahas bagaimana menyederhanakan
keagamaan di Bali, yang terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin
setuju untuk menegakkan paham Tri Murti ( Brahma, wisnu, siwa ) untuk menjadi
inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau
menifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa. Kosensus yang tercapai pada waktu itu
menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di
Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan
Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk
memuja Sang Hyang Widi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama:
a. Pura Desa Bale Agung
untuk memuja kemuliaan Brahma sebagaii perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
(tuhan)
b. Pura Puseh untuk
memuja kemuliaan wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
c. Pura Dalem untuk
memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatari Durga yaitu saktinya
Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang
menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam samuan tiga juga
dilahirkan suatu organisasi “Desa
Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”. Dan sejak saat itu
berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik,
social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti
ditulis dengan Bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu
dibangun sebuah pura yang di beri nama Pura
Samuan Tiga.
Atas
wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat
Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol pelinggih
Kemulan Rong tiga di tiap perumahan,
pura kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan pembangunan pura-pura Kiduling
kreteg (Brahma), Batumadeg (wisnu), dan Gelap (siwa), serta Padma Tiga, i
Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi
horizontal (pangider-ider). (gunawan pasek, 2012: 52-53)
4. Penyatuan konsep
siva siddhanta atau sekte-sekte dalam merajan, adalah :
1. Piasan : fungsinya
untuk menghanturkan canang pendek, canang sari ( sesajen) pada ida hyang
bhatara sami, dalam krisatalisasi pada siva sidhanta yaitu tercangkup p
2. kemulan Rong 3 :
fungsinya untuk memuja hyang guru atau Tri Murti (Brahma,wisnu siwa), dalam
siva siddhanta ini konsep ini djalankan oleh Mpu kuturan dan terdapat dalam
sekte
3. surya : sanggah
surya fungsinya untuk memuja bhtara surya, dalam siva siddhanta tercangkup
dalam sekte sora yaitu menyembah bhatara surya.
4. paibon : fungsinya
untuk memuja roh-roh lehur
5.
taksu : fungsi
taksu adalah sebagai pengempon dalam merajan atau pengenter apa yang kita
sajikan kepada
leluhur kita. Dan bersifat magis serta digunakan sebagai penolak bala,
Serta memiliki unsur kewibawaan
5.
Bagaimana anda menyikapi terhadap fenomena menyontek dalam ujian, teroris,
korupsi dalam konsepsi Siva Siddhanta!
Dalam
konsepsi siva siddhanta fenomena menyontek, teroris dan korupsi ini sangat
bertentangan dengan ajaran siwa siddhanta, kejadian ini dikaitkan dalam
konsepsi siva siddhanta dalam cetana dan acetana, dimana cetana adalah unsur
kesadaran atau kejiwaan atau spiritualitas yang muthlak, tidak berawal dan
tidak berakhir kekal abdi sertta menjadi sumber atau benih kesadaran atau
kejiwaan yang tertinggi dari alam semesta dan segala makhluk. Sedangkan Acetana
adalah unsur yang tanpa kesadaran atau tanpa jiwa serta menjadi benih atau
sumber asal mula material dari pada alam semesta dengan segala isinya dan
segala makhluk. Jika dikaitkan dalam fenomena menyontek bahwa manusia dalam
kesadarannya sangat kurang karena manusia itu tidak pernah sadar pada dampak
melakukan hal menyontek tersebut,bahwa dengan menyontek seseorang akan terus bergantung pada
orang lain, dengan mengandalkan jawaban sendiri seseorang itu akan mengetahui
batas kepandaian yang kita miliki, dan apabila kita mengetahui bahwa kita
sangat kurang dalam mnjawab soal itu, maka dari sanalah kita bisa sadar bahwa
perlu belajar lebih giat lagi, begitu juga dengan fenomena teroris yang terjadi
di bumi pertiwi ini, bahwa seorang teroris itu kurang menyadari akan jati
dirinya sendiri, dia belum mampu melawan asutan-asutan dari orang yang
mengajaknya berbuat seperti itu dan begitu pula dengan seorang koruptor,
seorang koruptor tidak akan pernah sadar pada dirinya sendiri jika ia
mendapatkan kesempatan untuk berbuat seperti itu. karena semua terjadi atas
dasar kesadaran diri kita sendiri, jika kita sadar pada jiwa kita, maka
perbuatan-perbuatan seperti itu tidak akan pernah terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar